Saat mengikuti kegiatan koordinasi di Kemdikbud gedung A lantai 2 terkait pelajar ikut demo. Dihadiri sejumlah pihak terkait mulai dari unsur Polda, Disdik, Direktur bidang Kemdikbud, KPAI, Organisasi profesi guru dan satgas pendidikan.
Sejumlah argumen, masukan dan informasi dibedah bersama sampai akhirnya terdokumentasilah sebuah rekomendasi. Sejumlah rekomendasi mendasar terkait “tata kelola pelajar” agar terhindar dari ikut serta demo dengan mahasiswa yang berujung kekerasan.
Kembali Saya sampaikan bahwa tidak ada anak yang salah di negeri ini. Siapa yang salah? Saya katakan yang salah adalah kita. Para pejabat sibuk dengan karirnya. Para orang tua sibuk dengan mata pekerjaannya. Para guru sibuk dengan tugas administrasinya. Para politisi sibuk dengan proyek dan kekuasaannya. Ahli agama sibuk dengan politik identitas.
Sejumlah narasi solutif dan kiat menanggulangi kenakalan remaja pelajar berhasil dikemukakan dan menjadi rekomendasi. Semua pihak harus terlibat menangani dan kontributif pada upaya meminimalisir dan mengedukasi para pelajar.
Saya termasuk yang memberi penekanan pada pelajar yang dianggap bandel. Tidak ada anak yang bandel pada hakikatnya, yang ada kita para guru dan orang tua tidak mampu melakukan pendekatan secara pedagogik.
Konsep sekolah saat ini cenderung menangani dan lebih fokus pada anak berprestasi dan anak baik-baik. Bagaimana nasib anak yang dianggap bandel? Apakah mereka ditangani dan dimotivasi dengan baik atau malah dihakimi?
Jangan sampai anak dihakimi guru dan orang tua karena jengkel atas kebandelan dan kenakalan yang dianggap terlalau (versi Rhoma Irama). Anak lebih memilih bersama para alumni dan teman sebaya dalam mengekspresikan dirinya. Ini bahaya! Di sejumlah sekolah anak bandel lahir dari tangan liar para oknum alumni. Ini bahaya!
Apa yang harus dilakukan? Saatnya ubah pola layanan mendidik. Bukan hanya anak bertalenta yang harus dilayani melainkan anak nakal pun yang belum terlihat bakatnya perlu diraih dan dilayani.
Sungguh tak adil bila hanya anak baik dan berprestasi yang lebih dilayani. Bukankah anak yang lebih bermasalah perlu lebih diperhatikan dan dilayani. Dimotivasi, diinspirasi dan diperhatikan lebih adalah hak mereka. Bukan malah distigma.
Saya sampaikan pada pihak Kemdikbud, “Mengapa tidak ada sejenis lomba khusus bagi mereka yang mudah dan memberi gairah berubah.” Bukan hanya olimpiade science, seni dan olahraga saja. Buatkan sejenis olimpiade yang wow bagi anak yang dianggap bandel karena butuh perhatian dan kurang ruang ekspresi.
Bahkan bisa ada sejenis lomba EMPAT SERANGKAI yang melibatkan kerjasama : 1) orang tua, 2) guru, 3) alumni dan 4) anak didik yang dianggap butuh perhatian lebih. Tidak menutup kemungkinan pasca lomba mereka lebih baik karena merasa dihargai seperti anak didik lainnya.
Kemdikbud harus memastikan ada sejenis lomba atau apresiasi dan layanan lebih bagi anak anak yang dianggap bandel atau berpotensi radikal. Langkah persuasi dan afirmasi layak dicobakan. Buat program dan anggaran yang cukup.
Sekolah ramah anak (SRA) bahkan harus lebih dirasakan oleh anak-anak bermasalah. Anak anak berprestasi dan berbakat sudah lebih mandiri dan punya kebanggaan sendiri. Saatnya anak-anak yang bermasalah atau berpotensi radikal diraih dan diperlakukan dengan hangat. Bila tidak maka oknum alumni dan mental jalanan akan memangsa mereka.
Oleh Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PB PGRI)
(Ketua PB PGRI)