Suara Guru-Jakarta. Pascakongres Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Juli 2019 lalu, PGRI telah memiliki kepengurusan masa bakti XXII yang dipimpin kembali oleh Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., sebagai pucuk pimpinan yang menakhodai organisasi besar ini lima tahun ke depan. Seiring itu, kepengurusan PGRI provinsi pun telah melaksanakan pula Konferensi Provinsi sebagaimana amanat AD ART hasil kongres masa bakti XXII. Tiba saatnya PGRI melaksanakan konferensi kerja untuk melaporkan agenda kegiatan yang sudah dilaksanakan tahun 2019 dan mempersiapkan program kerja di tahun 2020 ini. Konferensi kerja nasional I masa bakti XXII akan dilaksanakan di Jakarta, 21-23 Februari 2020.
PGRI memiliki agenda besar organisasi pascakongres, yaitu persiapan pelaksanaan Konkernas I. Adapun pelaksanaan Konkernas diselenggarakan di Grand Boutique Hotel, Jakarta-Pusat, 21-23 Februari 2020 dan dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI, KH. Ma’ruf Amin. Ketua dewan pembina PGRI, Dr. Muhammad Jusuf Kalla, dan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo juga dijadwalkan memberikan arahan dan sambutan dalam acara ini. Konkernas PGRI merupakan forum organisasi tertinggi kedua setelah kongres yang monumental dan strategis dalam menyambut era baru merdeka belajar saat ini. Konkernas akan dihadiri oleh pengurus dari 34 provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
Sebagai guru profesional, maka dalam menjalankan profesinya harus terus bergerak mencari pengetahuan dan mengembangkan diri. Teman-teman guru muda harus menginisiasi gerakan perubahan yang didesain untuk menjadikan sosok guru penggerak. Saatnya teman guru-guru bergerak dalam PGRI sebagai organisasi profesi strategis dan mengubah paradigma berpikirnya yaitu PGRI sebagai kekuatan moral intelektual. Peran utama guru bukanlah mengajar tetapi pengelola belajar bagi siswa atau dirinya. Kemerdekaan belajar harus dijalankan seluas-luasnya sehingga guru dan siswa bergerak bersama
PGRI sebagai mitra strategis, kritis, dan konstruktif pemerintah dan pemerintah daerah terus berikhtiar membantu mewujudkan dan memajukan pendidikan nasional. Agenda perjuangan PGRI bukan semata-mata untuk kepentingan anggotanya tetapi juga untuk kepentingan peserta didik, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan salah satu jati diri PGRI sebagai organisasi perjuangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI.
Era kini sudah berubah. Generasi muda kritis dan memiliki kapasitas bagus banyak yang bermunculan. Ketua PGRI di beberapa provinsi kini mulai diisi oleh kader di bawah usia 40 tahun. Tetapi PGRI tidak menyoal dikotomi tua dan muda. Generasi senior yang berpengalaman tetap diandalkan membimbing yang muda dalam membangun citra positif PGRI di masyarakat. PGRI ingin dibangun secara kolaboratif dan partisipatif.
Harapan yang disandarkan terhadap pengurus PGRI yang telah terpilih hasil konferensi provinsi, kab/kota adalah dapat memberikan pelayanan maksimal pada anggota. Pengurus PGRI sedapat mungkin mengedepankan kepentingan organisasi dan menghindarkan interest pribadi. Guru-guru muda berprestasi yang menegakkan profesionalisme perlu direkrut menjadi pengurus PGRI. PGRI perlu mendapatkan kepercayaan para guru muda yang kritis ini, sehingga mereka aktif, merasa memiliki dan nyaman di dalamnya. PGRI memerlukan kader-kader militan yang mendorong regenerasi pengurus di masa mendatang.
Anggota PGRI harus dapat menjadi Guru Penggerak di lingkungan/institusinya masing-masing. Menjadi sumber inspirasi dan sebagai motor penggerak yang mendorong para koleganya terlibat aktif dalam organisasi profesi PGRI. Menularkan energi power of giving seluas-luasnya. Dengan semakin banyak memberi, maka akan semakin banyak manfaat yang diterima. Jangan ada lagi guru yang pasif dan hanya bertanya apa keuntungannya masuk dan aktif dalam PGRI, tetapi justru harus banyak berkontribusi untuk PGRI sehingga bermanfaat bagi sesama. Saya berharap para anggota PGRI berbuat kebajikan terus menerus kepada sesama guru dan organisasi, sehingga semakin banyak feedback kebaikan kembali ke dirinya.
Guru perlu meningkatkan rasa memiliki, soliditas, dan kebersamaan dalam PGRI. Masyarakat akan semakin merespon positif dan kepercayaannya meningkat terhadap PGRI, apabila semua pengurus melayani kebutuhan anggota untuk mendapatkan kesejahteraan, perlindungan, dan peningkatan kompetensi.
Beberapa pernyataan yang diharapkan dapat dihasilkan di Konkernas sebagai masukan-masukan kepada pemerintah di antaranya:
Secara khusus PGRI menyoroti permasalahan kekurangan guru dan menawarkan penyelesaian guru honorer yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan pemerintah daerah. Kekurangan guru yang masif akibat lebih dari 10 tahun tanpa rekrutmen guru (zero growth) mengancam kualitas pendidikan. Guru yang diangkat tahun 1970-an telah memasuki usia pensiun digantikan dengan guru honor, namun perhatian terhadap mereka hampir tidak ada. Guru honor masuk dalam data dapodik tetapi hak-hak mereka tidak dipenuhi. Saat ini jumlah Guru Tidak Tetap (GTT) yang sejatinya merupakan guru honor, jauh lebih banyak dari jumlah guru PNS/ASN. Dalam data yang dirilis Kemendikbud melalui Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), jumlah Guru Honorer mencapai 56%. Belum lagi guru-guru yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang tunjangan daerah terpencilnya makin sulit dibayarkan karena ada aturan baru yang menyebut guru sangat terpencil. Aturan yang bersifat akal-akalan ini mengancam kelanjutan proses dan mutu pendidikan.
Untuk itu, PGRI mengusulkan penyelesaian guru honorer antara lain: (a) jangka panjang dilakukan revisi UU ASN, (b) jangka pendek dan menengah adalah rekrutmen calon ASN diberikan kepada guru honor yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi, (c) Moratorium dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 yang melarang pemerintah daerah mengangkat guru honorer dibuka/dihidupkan kembali, (d) tersedia regulasi yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengangkat/menggaji guru honor dengan APBD sehingga guru mendapat kesempatan ikut sertifikasi guru, (e) mengangkat guru honor menjadi calon ASN bagi guru 3 T, (f) daerah memberikan tambahan insentif bagi guru honor sesuai Upah Minimum Kerja Daerah (UMKD) masing-masing, (g) diterbitkannya aturan tentang pembayaran gaji minimum guru honor, (h) bagi guru honor yang telah berusia di atas 35 tahun minimal dapat diangkat tenaga PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), (i) memperjuangkan diterbitkannya Permenpan RB yang menyatakan bahwa pengangkatan PPPK untuk guru dilakukan cukup satu kali, sampai batas usia pensiun.
Perhatian khusus juga harus difokuskan kepada alih kelola SMA dan SMK dari kabupaten/kota kepada provinsi sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014. Terkait alih kelola ini, PGRI mengharapkan agar Pemerintah dalam hal ini Kemendagri dan Kemendikbud menginventarisir permasalahan yang terjadi di lapangan dan pro-aktif dalam menerbitkan berbagai aturan yang diperlukan yang dijadikan pedoman oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), (b) ada dukungan anggaran peningkatan kualitas sarana prasarana SMA/SMK, dan kesejahteraan guru (c) ada jaminan untuk keberlanjutan, substansi, dan peningkatan kualitas proses belajar di tingkat SMA/SMK.
***
Tulisan sebagai hasil wawancara dengan Ketua Umum PB PGRI yang dituliskan ulang oleh Catur Nurrochman Oktavian, Redaktur Pelaksana Majalah Suara Guru.