Dari beberapa Sekolah Dasar Negeri di Wonogiri bagian timur, rata-rata mengeluh terkait perpustakaan dan SDN yang terancam tutup. Dari beberapa penjelasan yang saya tampung, hanya kata miris dan ironis. Ironis tentang SDN yang bisa saja beberapa tahun kedepan akan terlihat bangunannya saja, tanpa ada kegiatan KBM. Bahkan di Kecamatan Slogohimo sendiri, sudah ada yang tutup, yakni SDN II Slogohimo. Sedang SDN I Watusomo, hanya ada satu murid kelas 1.
Menurut salah satu kepala sekolah di Slogohimo, “Melihat semakin hari perkembangan SDN semakin memprihatinkan. Beliau merasa dilematis tentang masalah yang tentu saja tidak mudah menyikapinya. Beliau juga mengatakan, dari segi agama, mungkin bisa dikatakan berbeda antara SDN dan Swasta. Tapi, untuk kemampuan berprestasi dan lain sebagainya, Beliau berani bersaing, ” tuturnya.
Dan, apa yang dikatakan kepala sekolah tersebut sangat tepat sekali. Melihat realita yang benar adanya. Sedang beberapa SDN yang saya datangi rata-rata, mempunyai keluhan dan dilematis yang sama. Belum lagi masalah perpustakaan yang hanya terlihat wujud bangunan saja, tanpa ada buku yang menunjang KBM.
Ada pendapat dari salah satu pendidik di SDN 3 Girimarto. Ia menuturkan terkait perpustakaan, “Daripada dana dihabiskan untuk membangun tempat, lebih baik buku dan kebijakan-kebijakan lain yang harus disikapi terlebih dahulu. Sedang tempat, bisa di mana saja. Di mana saja yang dimaksudkan, tetap di lingkungan sekolah. Kalau tidak ada buku, apakah pantas disebut perpustakaan? Ia juga mengatakan tentang SDN yang terancam tutup. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, bisa dibagi per zona. Jadi ada pembagian zona, bertujuan agar keduanya bisa berjalan sama rata dan bersinergi. Ia juga percaya diri, SDN mampu mendidik para murid tentang keagamaan yang juga tidak kalah dibandingkan dengan SD Swasta.”
Apa yang ia katakan, bukan berarti menyekat. Apalagi merasa iri dengan SD Swasta yang sangat mudah mendapatkan murid. Tak sedikitpun, ia menjurus ke ranah itu. Dari serenteng persoalan, coba kita kembalikan kepada masyarakat untuk merubah paradigma yang cenderung instan. Padahal, salah satu pendidik yang paling berpengaruh adalah keluarga dan lingkungan.
Nah, untuk menyikapi hal itu, saya coba menyimpulkan. Jika memang tidak ada tindak lanjut dari atasan, tidak jadi masalah. Mari bersatu, kuatkan tekat menuju pembelajaran yang jauh lebih baik. Dan menetaskan bibit-bibit unggul sebagai generasi penerus bangsa. Adapun caranya: Dengan bersosialisasi selaku kita adalah mahkluk sosial.
Dengan cara itu yang mungkin pas untuk mengurai segala problem pendidikan di zaman now ini, khususnya bagi para pendidik.
(ini ada keluhan tentang kondisi pendidikan di Wonogiri dari Pak Ari Saputra, semoga PGRI bisa menindaklanjuti) 🙏🏻