Suara Guru – Busana Mendikbud saat menghadiri pelantikan Rektor UI sedang dalam sorotan (4/12). Nadiem mengenakan kemeja batik yang lengannya digulung, dipadu celana jins dan sepatu loafers berbahan suede. Sebagian menganggap tidak layak karena kapasitas Nadiem Makarim sebagai Mendikbud atau pejabat negara.
Saya sendiri baru sadar belakangan bahwa mas menteri memakai celana jins pada HUT Ke-74 PGRI dan HGN 2019 di Cikarang Bekasi (30/11).
Kecuali cara berbusana yang tak biasa, Nadiem juga tak suka pidato menggunakan teks. Ia suka bicara yang to the point dan tidak panjang. Seperti saat di DPR, dua lembar sambutannya untuk HGN 2019 yang viral, dan pidato di UI di atas. Bisa dikatakan, ia adalah the simple one.
Meski tak bisa apple to apple karena kedudukan saat ini, busana mas menteri mengingatkan saya pada Mark Zuckerberg pendiri Facebook dan Steve Jobs pendiri Apple. Mark dengan kaus lengan pendek, Steve dengan kaus lengan panjang, dan Nadiem dengan celana jins.
Kesamaan mereka ada pada kesederhanaan dan mendobrak tradisi berbusana kaum sukses, elit, dan terkenal yang identik dengan jas, dasi, dan sepatu pantopel yang mengkilat. Sebelum menjadi Mendikbud, Nadiem adalah pendiri Gojek yang sukses.
Saya tak tahu apakah Nadiem akan bertahan dengan gaya busananya yang santai itu. Apakah Presiden Jokowi tak terusik?
Sebagai orang yang tak biasa memakai jas, dasi, dan sepatu pantopel, saya suka dengan gaya busana mas menteri—meskipun dalam waktu tertentu ia harus bisa berdamai dengan dress code kegiatan yang pasti sangat padat dan melelahkan.
Saya punya dua jas, yang satu jas pernikahan pada 2003, punya dua dasi itupun pemberian Profesor Unifah, dan tidak punya satu pun sepatu pantopel.
Daripada menyoal busana Nadiem dan pidatonya yang singkat dan padat, saya lebih menunggu kebijakan pendidikannya. Apa yang bisa dilakukannya untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia?
Indonesia kekurangan guru, guru honorer kurang sejahtera, dan kompetensi guru rendah. Kualitas fakultas pendidikan sangat rendah. Banyak tapi tak sedikit yang abal-abal. Input mahasiswa bakal calon guru tidak ada standar baku, dan proses pembelajaran fakultas pendidikan juga sangat tidak bermutu.
Banyak guru belum S1. Lalu akreditasi prodi, sekolah, dan perguruan tinggi, yang masih banyak kelemahan, seperti masa visitasi yang lama dan menghabiskan banyak kertas—meski sudah online system.
Saya yakin mas menteri sudah memiliki daftar masalah pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Saatnya bertindak nyata bukan hanya kata atau pidato indah. Lakukan deregulasi dan debirokrasi. Semoga di tangan mas menteri yang good looking pendidikan Indonesia semakin maju, khususnya guru makin bermartabat, kompeten, dan sejahtera. Jejen Musfah