Hari ini saya dikirimi sebuah info oleh seorang guru berprestasi, aktivis, dan salah satu pengurus besar PGRI, saudara Catur Oktavian. Ia mengirimkan gambar seorang pejabat baru Dirjen GTK (Guru Tenaga Kependidikan) yang bernama Iwan Syahril. Saya sungguh tertarik mengenali siapa Iwan Syahril, sosok muda hebat ini?
Iwan Syahril adalah seorang pendidik yang lahir dari keluarga guru dari Kota Padang, Sumatera Barat. Ia adalah putra sulung dari pasangan Syahril Kasim dan Syafrida yang merupakan keturunan Minangkabau. Ayahnya seorang guru bahasa Inggris yang sangat populer di Kota Padang di tahun 1960-1990 an. Anak guru?
Saya selalu punya ekspektasi bila seorang pejabat di dunia birokrasi pendidikan memiliki latar belakang sebagai guru. Dirjen guru berlatar belakang keluarga guru dan pernah berprofesi sebagai guru tentu baik. Ia akan menjadi pelayan publik dengan latar belakang yang Ia geluti. Seorang Dirjen GTK menurut guru Catur Oktavian, haruslah berasa guru.
Kita lihat sepintas rekaman masa lalu Dirjen GTK yang baru. Sosok Iwan Syahril sampai SMA, belajar di Padang. Pendidikan S-1 Hubungan Internasional Unpad Bandung. Sempat mengenyam pendidikan S-2 Bahasa Inggris di UPI. Selanjutnya, melanjutkan studi program master di Teachers College, Columbia University New York City, Amerika Serikat. Pendidikan S-3 Kebijakan Pendidikan, Michigan State University, Amerika Serikat. Kemudian ia sempat menjadi staf khusus di Kemdikbud.
Sebelumnya, Iwan Syahril pernah menjadi guru bantu di WL McLeod Elementary School di Vanderhoof, British Columbia di Kanada sebagai bagian dari program Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada (PPIK) di tahun 1996. Ia pun mengajar berbagai kelas di 5 sekolah dasar, 1 Sekolah Menengah Pertama, dan 1 Sekolah Menengah Atas di Scarsdale, New York, Amerika Serikat.
Iwan Syahril pun punya pengalaman sebagai co-founder dan peneliti pada Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan dan dosen Fakultas Pendidikan, Sampoerna University. Ia memiliki dua gelar Doktor dan dua gelar master. Ia memiliki pengalaman bekerja selama lebih dari 21 tahun di bidang pendidikan di Amerika Serikat, Indonesia, Kanada, termasuk mengajar di program pascasarjana keguruan di Michigan State University.
Dalam tulisannya di Kompasiana berjudul “Guru Berkualitas, Narasi Kebudayaan, & Pengalaman Menjadi Siswa”, ia menuliskan: “Dalam konteks pemahaman ilmu pendidikan yang telah jauh berkembang saat ini, menjadi guru berkualitas sangat tidak mudah. Singkatnya kita sudah bergeser dari pemahaman konsepsi pembelajaran dan pengajaran yang mekanik (teacher-centered) ke konsepsi pembelajaran dan pengajaran yang dinamis dan kompleks (student-centered)”.
Bila kita terjemahkan substansi pemikiran “Pak Dirjen GTK” ini, ia mengatakan bahwa guru dahulu adalah “tukang ngajar” dan guru masa kini adalah “Guru Tukang Belajar” yang artinya harus adaptif menghadapi tuntutan dinamika dan kompleksitas sosial dan ragam potensi anak didik. Guru punya peran “menampilkan anak” bukan “mainstream” tampil dominan di depan anak didik.
Ada satu persepsi menarik yang ia soal. Ia mengatakan: “Untuk menjadi orang yang mendidik dan mengajar, tak perlu harus masuk sekolah guru atau universitas jurusan pendidikan. Tak perlu sekolah guru atau masuk jurusan pendidikan. Calon guru cukup diberi pelatihan “seperlunya” saja. Menurutnya paradigma ini akan melahirkan guru mekanik, tukang ngajar!
Dalam tulisan yang lainnya, ia pun mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara yang mengatakan, “Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, bukan untuk meminta sesuatu hak, melainkan untuk berhamba pada sang anak.” Student-centered adalah sebuah istilah yang subtsansinya adalah “berhamba pada anak didik”.
Semoga sejumlah informasi dan pemikiran Dirjen GTK yang baru dalam tulisannya dapat menjadi informasi bagi para guru mengenali dirinya. Setidaknya para guru berharap setiap Dirjen GTK siapa pun namanya, darimana pun datangnya, semoga “Sayang Pada Entitas Guru”. Apalagi Iwan Syahril adalah anak seorang guru, semoga Ia bertipe teacher centered. “Berhamba Kepada Guru”.
Sejumlah persoalan guru akan menjadi pekerjaan kompleksnya. Jangan lupa nasib “Guru Honorer” segera dituntaskan! Bila Pak Dirjen mengatakan guru harus berhamba pada anak didik (student centered), maka kami berharap Pak Dirjen melayani para guru lebih baik lagi dari dirjen-dirjen sebelumnya!
Bapak baik pada kami, maka kami jutaan guru akan mendoakan kebaikan untuk Bapak. Jika Bapak kurang baik pada kami, maka kami akan doakan Bapak bisa berubah menjadi yang terbaik! Doa guru adalah doa yang bisa dimanfaatkan untuk keberkahan keluarga para pejabat! Sukses adalah melayani atau menghamba pada publik yang menjadi layanan prioritas, sesuai garapan.
Editor: Catur N.O.