Siak-Riau, Suara Guru—Saya bersama rombongan besar Pengurus Besar PGRI yang berjumlah 21 orang tiba di kota Kerajaan Siak Sri Indrapura, minggu (21/8), tepat pukul 14.30 WIB. Rombongan saya berangkat dari Bandara Soekarno Hatta pukul 06.00 WIB (21/8) menuju Bandara Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. Perjalanan udara ditempuh selama satu jam empat puluh lima menit.
Dari bandara kami singgah di Gedung Guru PGRI Provinsi hingga makan siang tiba. Kami bertemu dengan kontingen PGRI dari beberapa provinsi di Indonesia. Perjalanan darat ke Siak yang terletak sekitar 120 Km dari ibu kota provinsi Riau Pekanbaru kami tempuh selama dua setengah jam. Selama dalam perjalanan saya dan rombongan tertidur pulas karena rata-rata sudah berangkat dari rumah ke Bandara Soeta pukul 03.00 pagi.
Dari Pekanbaru ke Siak juga bisa ditempuh melalui Sungai Siak menggunakan Speed Boat sekitar 2 jam. Kelebihannya, kita bisa menikmati keunikan kehidupan perkampungan di pinggiran Sungai Siak.
Perjalanan selama 2.5 jam sangat nikmat karena jalanan mulus dan di sepanjang jalan hamparan sawit yang berusia muda dan tua yang hijau memanjakan mata. Dalam jarak dua hingga tiga Km kadang tidak ada rumah penduduk, hanya bentangan pohon sawit yang berjejer rapih, beberapa siap dipanen.
Kami menginap di Asrama Haji Siak selama lima hari ke depan (21-25/8). Kamar cukup nyaman, karena tersedia AC, televisi, meja dan kursi untuk bekerja, dan kasur yang nyaman untuk melepas lelah.
Tidak ada angkot
Saya dan empat teman bertugas meliput acara Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) PGRI kedua 2016 di Siak. Delapan cabang lomba yaitu bulu tangkis, tenis meja, senam PGRI, nyanyi solo, tari tunggal, seni baca Al-Quran, dan kreatifitas pembelajaran dilaksanakan di tujuh lokasi yaitu Siak Sport Hall, Aula SMPS Islamic Center, Panggung Siak Bermadah, Gedung Mahratu Siak, Aula SMAN 1, Panggung Seni LAM, dan Masjid Sultan Syarif Kasim.
Jarak antara tempat saya mengingap dengan lokasi lomba dan lokasi lomba satu dengan lainnya cukup jauh, sekitar 2.5 km. Kami punya mobil khusus media yang mengantar dari satu tempat lomba ke tempat lomba lainnya, tetapi kadang kami jalan kaki. “Dinikmati dan sehat,” kata seorang teman. Berjalan di siang hari cukup berkeringat, tetapi di malam hari lumayan nyaman karena suasana jalan sepi dan pemandangannya sejuk dengan berbagai pohon hijau. Sore hari banyak muda-mudi berkendara motor, dan menikmati kuliner.
Saya penasaran dengan tidak adanya angkot di Kabupaten Siak, yang berjuluk Kota Istana ini. Transportasi lokal di sini menggunakan becak-honda, itu pun sangat jarang. “Bis dari Riau ke Siak kalah oleh travel,” kata Rizal, sopir kami selama di Siak.
Siswa di sini berangkat ke sekolah menggunakan bis sekolah, becak-honda, dan sepeda. Rasmida (49) Kepala MTsN Syiak menyatakan, becak-honda digunakan untuk jarak dekat seperti dari rumah ke pasar. “Bis digunakan oleh siswa yang jarak rumahnya jauh dari sekolah, sedangkan yang dekat memakai honda,” katanya. Istilah honda digunakan masyarakat Siak untuk menyebut motor bagi orang-orang Jabodetabek.
Ketika saya tanya biaya bis sekolah, Kepala SD 04 Kuantan Besar Nurhasanah (59) dan Kepala MAN Siak Maita Yunielda (50) bingung karena tidak tahu dan tidak yakin. “Tidak tahu apakah siswa membayar atau tidak, tapi mungkin gratis karena bis dari pemerintah daerah,” kata Nurhasanah.
Bis sekolah sudah berjalan sekitar dua tahun. Sebagian siswa diantar-jemput oleh orangtua karena masih kecil. Meski tidak ada angkutan umum dan jarang ojek, orang Siak ramah dan siap mengantar tamu ke lokasi tujuannya. “Adat melayu mengajarkan orang Siak bersikap ramah kepada orang lain, apalagi kepada tamu,” kata Maita. Sepeda lebih banyak di sekolah daripada honda.
Tiga hari di Siak (21-23/8) kami sudah merasakan aura keramahan dan potensi wisata Siak yang menggeliat. Di sela-sela liputan Porseni, kami beruntung diajak berkeliling ke beberapa lokasi seperti makam Raja Siak ke-XII Sultan Syarif Kasim II yang indah terletak di pinggir Sungai Siak, menikmati makan sore di pinggir Sungai Siak dengan ikan bakar dan ikan opor yang lezat, meihat sunset di bawah Jembatan T. Agung Sultanah Latifah Siak, dan malamnya makan durian di pinggir sungai bersama rombongan PB PGRI.
Belum puas, selepas pesta durian, kami diantar ke Water Front, semacam taman bermain untuk masyarakat di pinggir sungai. Orang Siak sering menyebutnya Pelabuhan Singapur atau Siak Hongkong. Jika pemandangan depan Water Front berupa sungai, kerlip lampu, dan jembatan penghubung dua desa, maka di belakangnya berdiri gagah Kelenteng Tua yang mencolok dengan cat warna merah tua. Malamnya saya tidur pulas karena puas bathin dan kenyang durian. (jen)