Tanpa terasa dengan penerapan Undang Undang No 23 Tahun 2014 tentang peralihan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota yang selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi sudah memasuki tahun kedua. Penyerahan yang di lakukan efektif dimulai pada Januari 2017 ini tentunya memiliki dampak terhadap sekolah. Pengawas, kepala sekolah, guru yang langsung berkaitan dengan pengelolaan di satuan pendidikan tentunya merasakan dampak dari diberlakukannya peralihan tersebut.
Menyikapi implementasi dari suatu undang-undang, peraturan pemerintah, permendikbud atau kebijakan apapun, tentunya memiliki dampak positif dan negatif, tergantung dari sisi mana dan ukuran apa yang digunakan seseorang/kelompok dalam menilai hal ini. Olehnya semua pihak harus bijak untuk mengomentari persoalan ini.
Pendidikan untuk semua (education for all) harus lebih meningkat menjadi pendidikan yang berkualitas untuk semua (quality education for all) merupakan harapan semua orang di negara ini. Pendidikan yang berkualitas dan merata harus dapat dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia dimanapun berada. Pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara, merupakan amanah dari kemerdekaan RI yg di perintahkan melalui undang-undang.
Kilas balik dari beralihnya tanggung jawab dan kewenangan SMA/SMK ke Provinsi tentunya bukan mencari kesalahan ataupun pembenaran kebijakan dari undang-undang dimaksud, namun agar dapat memaksimalkan yang sudah baik dan meminimalisir hal-hal yang berpotensi untuk menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Fenomena di era sentralisasi ke disentralisasi.
Kewenangan kabupaten/kota dimulai sejak era otonomi, sehingga mengalihkan pendidikan di pusat (sentralisas) menjadi disentarilasi, ke daerah. Saat itupun banyak yang merasa “diuntungkan” sekaligus menganggap “dirugikan”. Bagi mereka yang memiliki kedekatan emosional dengan pemerintah daerah,tentu saja merasa diuntungkan. Lain halnya bagi mereka yang “asing” merasa di rugikan. Olehnya “untung dan rugi” dalam hal ini lebih banyak bersifat rasa secara individu, berdasarkan kepentingan pragmatis atau sesaat.
Sebagai pendidik seyogyanya kita melihat untung rugi itu secara obyektif, dari sisi kepentingan pendidikan secara umum untuk kepentingan Bangsa dan Negara. Dimulai era otonomi inilah, pendidikan di daerah kadangkala “terkontaminasi” dengan kepetingan politik. Pendidikan menjadi komoditas politik untuk meraih suara dan dukungan, jargon-jargon pendidikan gratis selalu menghiasi kampanye para kandidat. Daerah-daerah yang ketika menang dalam pilkada, sebagian menepati janji dengan menyiapkan subsidi anggaran sebagai pengganti dari sumbangan pendidikan/iuran komitedi sekolah, tapi ada yang menepati janji dengan tidak mengalokasikan dana ke sekolah-sekolah. Di era otonomi daerah ini, dengan tanggung jawab SMA/SMK dikelola oleh kabupaten/kota banyak yang merasa di zona aman dan nyaman, namun sebaliknya sebagian merasa tersiksa.
Setahun peralihan SMA/SMK ke Pemerintah Provinsi
Peralihan pendidikan jenjang SMA/SMK dari kab/kota ke provinsi tentunya terjadi pro dan kontra, ada yang merasa dirugikan dan diuntungkan. Sekali lagi penulis tidak mau berpolemik untung dan rugi dalam pandangan pribadi, namun hanya melihat dari sisi kepentngan anak-anak bangsa.
Dampak yang (dianggap) positif;
1). Terjadinya pemerataan dibidang pendidikan secara global di provinsi, sehingga kesenjangan kualitas di setiap kabupaten/kota bisa di minimalisir.2) Pemerataan kualitas dan kuatitas guru, yang selama ini sulit untuk mutasi antar kabupaten, sekarang relatif lebih mudah. 3) Percepatan pendidikan wajib belajar 12 tahun lebih cepat terlaksana. 4) Pemerintah kab/kota menjadi lebih fokus dalam pembinaan SD dan SLTP. 5) Dikbud Provinsi memiliki ruang yang cukup untuk pembinaan pendidikan disekolah. 6) Pengawas pendidikan diprovinsi memiliki sekolah binaan yang jelas. 7)Menyelamatkan SMA/SMK yang di daerahnya terkena janji politik sekolah gratis, tanpa ada subidi sebagai penggantinya.
Dampak yang (dianggap) negatif;
1) Sekolah yang selama ini memiliki subsidi dari pemerintah daerah, hilang karena bukan lagi menjadi tanggung jawab nya. 2)Kehilangan akses yang selama ini telah terbangun dengan baik dengan pemda setempat. 3) Merasa terusik dari zona yang selama ini nyaman dan aman. 4) Jauhnya akses pelayanan sekolah ke dinas pendidikan (walaupun sudah ada UPTD/Cabdis/Subdis), yang selama ini relatif dekat. 5) Ada rasa cemas dari pemangku kepentingan di sekolah, jika terjadi mutasi antar kab/kota.
Solusi yang di tawarkan;
Melihat fenomena dari setahun peralihan SMA/SMK ke Pemerintah Provinsi, maka penulis menawarkan, yang mungkin bisa menjadi bahan diskusi berikutnya bagi stack holder di pendidikan, yaitu; 1) pemkab yang selama ini menyiapkan tunjangan daerah bagi sekolah, baik pada siswa atau guru agar membuat payung hukum sehingga dana tersebut bisa tetap disalurkan. Disamping itu PemProv berusaha untuk memberikan tunjangan daerah (jika memungkinkan) ke daerah/sekolah yang selama ini tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah setempat. 2) Selalu membangun komunikasi yang baik dengan pemerintah provinsi, ingat jabatan itu hanya sementara, sekali guru tetap jiwa sebagai guru dimanapun dan sampai kapanpun. 3) Harus berani dan siap menghadapi perubahan apapun dalam dunia pendidikan, harus siap beralih dari zona yang di anggap aman dan nyaman selama ini. 4)Percepatan pelayanan saat ini dapat diantisipasi dengan tekhnologi canggih, jarak bukan lagi ukuran jauh dekatnya informasi saat ini, namun waktu sampai info itu yang menjadi ukuran. 6) Rasa cemas jika dimutasi (ketempat yang tidak dikehendaki) itu manusiawi, namun tentunya pemprov tidak akan sembrono melakukan semua itu, pastilah ada kajian terlebih dahulu dengan melibatkan semua unsur.
Perubahan itu pasti akan terjadi, kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Persoalannya adalah ketika kita tidak atau belum siap untuk menghadapinya. Sekolah yang terkena langsug dampaknya tentunya harus mampu beradaptasi, menghadapi fenomena ini.
Yakinlah….proses tidak akan menghianati hasil…!!
Sekian…wassalaam…., tabe. 🙏🏽🙏🏽🙏🏽
________
Palu, 8. Agt. 2018
Syam Zaini
*Sekum PGRI Prov SulTeng
*Kepala SMAN 4 Palu