Kenaikan pangkat merupakan penghargaan yang diberikan kepada Pegawai atas prestasinya, dan merupakan motivasi pegawai lainnya untuk berprestasi sehingga ikut dinaikkan pangkatnya. Ini Salahsatu teknik negara untuk meningkatkan prestasi pegawai, tapi apakah pegawai berlomba-lomba berprestasi sehingga dinaikkan pangkatnya? Atau berlomba-lomba naik pangkat karena jabatan dan tidak peduli dengan prestasi? Jawabnya cukup dalam hati saja.
Aturan kenaikan pangkat tidak lagi humanis banyak hal yang wajib dipenuhi namun tidak bisa terpenuhi akibat kelalaian pemerintah atau negara, satu diantaranya adalah sertifikat untuk kenaikan pangkat gol 3, minimal 3 lembar sertifikat dengan jumlah jam minimal 30 Jp.
Bagi guru yang tinggal diperkotaan, banjir dengan fasilitas negara, dimanjakan dengan aneka ragam fasilitas, akses transportasi yang lancar tentu tidak ada masalah rata-rata mereka sanggup memenuhi karena mudahnya mereka dipanggil mengikuti kegiatan, namun pernahkah terfikirkan mereka yang jauh dari suara bising kendaraan, jauh dari pusat kota, jangankan dipanggil menjadi peserta pelatihan, dikunjungi saja sulit.
Penulis berkeyakinan bahwa mereka yang tinggal jauh dari jantung kota/kabupaten tidak akan pernah memenuhi persyaratan tersebut, lantas salahkah mereka? Dosakah ia jika menghalalkan segala cara untuk kenaikan pangkatnya? Lalu siapa yang salah dan berdosa?
Pantauan penulis bahwa gagalnya kenaikan pangkat hanya karena administrasi. Mereka salah membuat SKP, tidak membuat PTK, dan tidak memiliki sertifikat, tapi ingat diantara mereka yang gagal naik pangkat pada periodenya bukan berarti ia tidak mengajar, ia telah melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan bahkan memiliki prestasi, lantas kenapa gagal naik pangkat? Bukankah kenaikan pangkat itu adalah penghargaan negara kepada pegawainya yang berprestasi?
Kesalahan SKP mereka, karena mungkin tidak pernah ditatar buat SKP. Tidak membuat PTK, karena mungkin tidak mengerti, tidak punya dana dan waktu, kesehariannya selalu diisi pembelajaran bersama siswanya. tidak memiliki sertifikat sudah pasti karena mereka tidak pernah dipanggil pelatihan, ini merupakan kelalaian dan kedzaliman kolektif terhadap guru.
Di daerah tertinggal, terluar, terisolir, (3T) dan semoga tidak terlupakan yang beraneka ragam kesulitan, sulit dengan air bersih yang selalu mengancam kesehatannya, sulit jalan kesana kemari karena jalan berlumpur, sulit komunikasi karena tidak mendapatkan jaringan, dimalam hari penuh kegelapan karena tidak memiliki sumber energi listrik, Maaf..! Hidup mereka sudah Susah. Prestasi bagi penulis bagi mereka yang bisa bertahan mengabdi disana (3T).
Tahun demi tahun berlalu saatnya mereka memperbaiki karir dan kesejahteraannya dengan mengusulkan kenaikan pangkatnya, verifikasi berkas pun dilakukan berdasarkan Permenneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009, jauh dari harapan satu persatu berguguran karena tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan (SKP, PTK, Pengembangan Diri), putuslah harapan karir dan kesejahteraan mereka. Ingat..Mereka yang mengabdi di daerah (3 T) hidupnya sudah susah, ditambah lagi dengan ego Permenneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009 yang membuat mereka semakin menjerit.
Dengan berdasarkan Kemanusian Yang Adil dan Beradab, cara kotor pun dilakukan sehingga berkas yang tidak pantas menjadi layak diproses demi membuat mereka tidak menjerit, Dosakah itu? Atau Pahala karena membantu mereka yang terdzalimi oleh ego Permenneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009.
Menuju salah satu cabang PGRI d kab. Nunukan yg sampai saat ini belum pernah kami kunjungi. Seperti inilah kondisi alamnya.
Diakhir goresan ini penulis berharap semoga sikap dan tindakan pemerintah/negara mengedepankan mereka yang mengabdi di daerah 3T, jadikanlah mereka anak kesayangan bukan anak yang terbuang dan selalu dilupakan, mereka pantas naik pangkat tanpa syarat, hadiahkanlah mereka dengan berbagai kemudahan karena mereka sudah hidup susah untuk Negara. (Nunukan, 16 Januari 2017)
Oleh: Abd. Wahid (Sekretaris PGRI Kab. Nunukan)