Pernyataan tegas disampaikan Ketua Umum PGRI terkait revisi PP Nomor 19 Tahun 2017 dirasakan sangat tidak berkeadilan untuk guru. Beberapa poin pasal-pasal yang merugikan guru beliau paparkan secara detail hari ini melalui siaran radio Elshinta, termasuk langkah strategis yang akan dilakukan PGRI untuk mengawal kepentingan guru di Indonesia.
Alhamdulillah semua saya sampaikan, persoalan guru dan honorer dan kesulitan kita menghadapi berbagai aturan dari Dirjen GTK. Saya offensive menyerang kebijakan dalam juknis dan aturan-aturan dari GTK. Full saya berbicara selama 30 menit. Insya Allah bersemangat. Semoga ada manfaatnya, ujar Ketua Umum PGRI di salah satu groups jejaring sosial WA.
Sementara itu mengawal keputusan dan sikap Ketua Umum PGRI seorang penggiat pendidikan sekaligus aktivis PGRI menambahkan opini berjudulkan
Nasib Pengawas, Anak Guru dan Guru.
Oleh : Dr (Cand) Dudung Nurullah Koswara, M.Pd.
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Kasihan sahabat-sahabat pengawas sampai detik ini TPGnya masih dilaut. Padahal kebutuhan sehari-hari, pengembangan diri, menyekolahkan anak, risiko ramadhan dll. mesti dipenuhi. Namun apa daya keluarnya PP No 19 Tahun 2017 GTT malah TPGnya hilang sementara tunjangan pengawasnya belum cair. TPG belum cair, tunjangan baru belum keluar tetapi hari terus bergerak bersama risiko finansial kesehariannya.
Dalam PP No 19 Tahun 2017 pasal 15 dijelaskan bahwa tunjangan profesi diberikan kepada: 1) guru, 2) guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala satuan pendidikan dan 3) guru yang mendapat tugas tambahan. Pengawas tidak masuk kategori ini. Namun dalam pasal 15 ayat 3 dijelaskan bahwa pengawas diberikan tunjangan profesi pengawas. Ini tidak masalah bila tunjangan pengawas sama atau lebih besar dari TPG yang didapatkan, plus TPG yang triwulan cairkan dahulu.
Selanjutnya nasib anak guru dalam PP No 19 Tahun 2017 masalahat tambahan dihapus. Padahal nasib anak guru terutama yang masih honorer membutuhkan “perlindungan” pendidikan dari negara. Bisa dibayangkan seorang guru honorer dengan tiga anaknya harus melanjutkan pendidikan sampai jenjang pendidikan yang tinggi. Sementara penghasilannya masih dibawah Rp. satu juta perbulan. Artinya peraturan ini seperti menjegal maslahat bagi anak guru.
Perlindungan terhadap guru berprestasi dan putra-putri atau anak angkat guru yang sebelumnya tertulis dalam PP no 74 tahun 2008 pasal 24 sampai 29 raib kelaut. Pengawas, anak guru dan guru sedang dalam ujian regulasi yang masih dipersepsi tak seirama dengan kebutuhan para pengawas, guru dan anak guru. Bahkan bukankah kepala sekolahpun rada ambigu? Dibebaskan dari tugas mengajar tetapi tetap saat “darurat” harus mengajar juga.
Sebagai guru saya menduga ada upaya “soft” design dari pihak-pihak tertentu yang berusaha “membonsai” eksistensi para guru dan organiasi profesinya agar gembos dan loyo. Ini sebuah praduga yang bisa salah atau sangat benar. Kalau salah berarti ada ketidakpintaran terstruktur ditubuh birokrasi pendidikan kita. Bila kebijakan jauh panggang dari api maka setiap daging yang dipanggang akan mentah terus.
Semoga negeri kita ini tidak menjadi “negeri yang mentah” terus. Bukankah harapan dan benteng terakhir negeri ini ada ditangan para pendidik? Bukankah trust publik kepada politisi, penegak hukum, birokrasi dan berbagai lembaga sedang jatuh? Bila pendidikan dikelola dengan tidak tepat, jauh dari efektif dan malah merugikan para guru, terus mau oleh siapa negeri ini diperbaiki?
Sehari sebelumnya Bunda Unifah selaku Ketua Umum PGRI menyampaikan pada jajaran pengurus PGRI, salah satu petikan pesan beliau yaitu: “Alhamdulillah keberatan PGRI mengenai revisi PP no. 19/ 2017 tentang guru yg disampaikan melalui Bapak Hamid Muhamad, Dirjen Dasmen di respon positif oleh pak Menteri” .
Kami berharap masukan tentang Revisi tersebut mohon disampaikan termasuk kajian PGRI terhadap kebijakan Dirjen GTK yg selalu menyulitkan guru dan merasa paling benar sama-sama kita usulkan untuk dikoreksi dan semoga pak Menteri mau mendengar dan memperbaiki kebijakan dan juknis-juknis yang dikeluarkan Direktorat jenderal tersebut seperti:
1. Penghentian sertifikasi guru dalam jabatan PLPG menjadi PPG bersubsidi.
2. Kelulusan Sergur dengan nilai 8
3. Mekanisme penyaluran TPG dan syarat penerimaan TPG yg sangat dipersulit termasuk tidak hadir satu hari.
4. Impassing berbelit-belit
5. Tunjangan profesi guru swasta.
6. Hal-hal lain yang sering kami sampaikan dalam berbagai pertemuan.
Mohon para guru jangan resah, bekerja dengan sebaik-baiknya . PGRI selalu mencari solusi terbaik, bekerja dengan profesional, keluhan dan masalah guru PGRI akan selalu diskusikan dengan kemendikbud.
Selanjutnya kita akan ajukan dialog dengan Menag.
PGRI juga sangat mengapresiasi terhadap respon pemerintah mengenai 5 hari sekolah. Kita harus mengedepankan dialog. Dan pemerintah juga sudah seharusnya memperhatikan dan mendengar suara hati rakyatnya dan para kelompok yang selama ini membantu pemerintah dalam pendidikan.
Karena sejatinya pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.
Teman-teman penyelenggara pendidkan seperti NU, Muhammadiyah, Kristen, PGRI, Dan kelompok lainnya adalah mitra pemeritah yang dengan kesungguhan dan dedikasinya yang luar biasa turut mencerdaskan bangsa dan memajukan budi pekerti yang luhur.
Semoga melalui cara-cara yang dialogis ini, kita bersatu memajukan pendidikan nasional demi kesatuan dan persatuan dan keutuhan NKRI.
Salam persatuan,
Unifah Rosyidi
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI.