Suara Guru – Menyambut hari ulang tahun ke-74 Republik Indonesia, bukan hanya diisi sekadar seremonial saja, tetapi diperlukan suatu refleksi terhadap perjalanan bangsa ini. Bangsa yang besar tidak melupakan sejarah perjalanan bangsanya. Bagi para pendidik, tanggal 17 Agustus 1945 memiliki arti penting, karena jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai efek yang sangat besar terhadap seluruh komponen pejuang kemerdekaan, pendiri republik, termasuk para guru di kurun waktu pascaproklamasi.
Dengan dijiwai semangat proklamasi kemerdekaan, segala perpecahan antara kelompok guru yang didasarkan perbedaan tamatan, perbedaan asal daerah, aliran politik, suku, agama, sepakat dihapuskan. Dituliskan dalam majalah Suara Guru, edisi November 1955, halaman 17, bahwa setelah proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, para guru sepakat bersatu untuk menghapuskan segala perbedaan, dan mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan: (a) mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; (2) mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dasar-dasar kerakyatan; dan (3) membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya (Rusli Yunus dkk, 2003, hlm. 7).
Semangat mengisi kemerdekaan pascaproklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidik Bangsa, tanggal 24-25 November 1945 di Sekolah Guru Puteri (SGP), Surakarta, Jawa Tengah. Di kongres itulah, lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menjadi wadah persatuan segenap guru di seluruh Indonesia. Tokoh-tokoh pendiri PGRI, di antaranya Rh.Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Sugianto, Soemidi Adisasmito, Soetono, dan Abdullah Noerbambang. Jadi 100 hari setelah pekik merdeka bertalu-talu mengiringi dwitunggal Soekarno-Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan RI, PGRI lahir juga dalam suasana pekik merdeka, di tengah kepulan bau mesiu pemboman tentara Inggris atas studio RRI Surakarta yang berjarak hanya sepelontaran batu dari tempat sidang kongres di SGP. Seperti disampaikan salah satu peserta yang hadir sebagai saksi sejarah saat kongres tersebut, bahwa para para peserta sempat mencari perlindungan karena serangan udara Inggris tersebut. Pekikan merdeka terus digelorakan selepas pesawat pembom tersebut berlalu.
Demikian heroiknya para guru saat itu demi mempertahankan kemerdekaan sehingga kongres juga mengeluarkan resolusi dan menyerukan melalui telegram yang dikirimkan kepada para pejuang yang bertempur di Surabaya untuk terus berjuang melawan sekutu sampai titik darah penghabisan. Isi telegram juga menyerukan agar para guru yang berada di sekitar Surabaya, bersama para pemuda bahu membahu memanggul senjata bertempur secara patriotik.
Jadi dapat dikatakan bahwa PGRI sebagai organisasi perjuangan bukan hanya memperjuangkan hak-hak guru, namun PGRI muncul sebagai “anak sulung” proklamasi, organisasi pejuang yang ikut perjuangan secara fisik mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai “anak sulung” proklamasi kemerdekaan RI, tentu mewarisi semangat dan jiwa “ibu kandungnya”, yaitu semangat persatuan dan kesatuan, kepahlawanan, rela berkorban demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dirgahayu Republik Indonesia
Selamat HUT ke-74 Republik Indonesia
Catur Nurrochman Oktavian
Redaktur Pelaksana Majalah Suara Guru PB PGRI
Pengurus PB PGRI
Sumber:
Perjalanan PGRI (1945-2003), Menyongsong Kongres XIX PGRI di Semarang, 8-12 Juli 2003. M.Rusli Yunus, dkk. Editor: Dedi Supriadi. Jakarta: Penerbit PB PGRI bekerjasama dengan Direktorat Tenaga Kependidikan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, 2003.
Penguatan Jati Diri PGRI melalui Perangkat Kelengkapan
Medan-Suara Guru. Ketua PB PGRI Dian Mahsunah, menutup kegiatan Workshop Transformasi Digital PGRI: Penguatan Program Mandatori melalui Optimalisasi Tugas dan...