Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Selesai melaksanakan sholat Jum’at di Mesjid Setukpa Polri Kota Sukabumi Saya dan Kang Cici Triana duduk santai dan menarik nafas sambil melihat jama’ah satu demi satu keluar dari mesjid paska sholat. “Rumah Allah” memang adem dan segar untuk diam sejenak dan menarik nafas penuh nikmat dan berkah.
Tiba-tiba diketenangan suasana paska sholat Jum’at terdengar suara menyapa, “Pak Dudung kapan nulis lagi di koran”? “Saya sering membaca tulisan Pak Dudung dan selalu mengikuti, saya suka”. Saya kaget dan melirik dari mana sumber suara. Ternyata datang dari seseorang yang sedang mencari nafkah jualan asongan.
Ia seorang pria muda nampak ramah dan aktif menyapa dengan hangat. Saya bergumam dalam hati, “cerdas bapak ini, Ia menyapa Saya agar terkesan familier dan rela untuk membeli dagagannya”. Suatu “modus” pemasaran yang cerdik dan humanis.
Karena meras tersanjung orang asing memanggil nama saya, akhirnya saya pesan apa yang Dia jual. Saya pesan kopi dua bersama Kang Cici Triana. Sambil melayani membuat kopi pedagang asongan ini diselingi bicara tentang banyak hal. Pembicaraannya agak “aneh” kok berbicara mindset dan wacana pendidikan.
Usut punya usut ternyata Beliau adalah guru honorer yang mengabdi di daerah Kabupaten Sukabumi. Pantas Ia begitu gesit dan isi pembicaraannya menjelaskan Ia seorang sarjana. Bahkan sekolah dimana Ia mengabdi memiliki prinsip yang unik.
Ia mengatakan “Daripada anak-anak kampung berlomba-lomba mencari sekolah favorit di kota dan menguras biaya cukup tinggi karena harus naik angkot beberapa kali. Maka Saya lebih menyarankan anak-anak pinggiran, sekolah di tempat saya mendidik dan mengajar.
Menurutnya daripada setiap hari orangtua di kampung yang kurang mampu mengeluarkan biaya Rp 20 ribu untuk biaya anaknya, lebih baik ditabungkan saja uangnya dan sekolah di tempat Ia mengajar. Ditempatnya Ia mengajar anak tidak harus mengeluarkan ongkos. Ia berprinsip dimanapun sekolah adalah sama sekolah hasilnya tergantung anak dan gurunya.
Dia banyak berbicara berkaitan sekolah dan pendidikan, Saya menyerap dengan setia. Bahkan Ia mengatakan bahwa dari mengajar sebagai guru honorer sebulan Ia dapat gaji dibawah Rp.200 ribu. Waduh kasihan dalam fikiranku. Ternyata Ia sangat mencintai dan menikmati sebagai guru.
Ia menjadi pedagang asongan untuk menopang perekonomian keluarga dan Ia menjadi guru karena menyukai dan bangga menjadi guru. Ada tuntutan idealisme disalurkan dengan menjadi guru. Ada tuntutan “pragmatisme” diselamatkan dengan menjadi pedagang asongan.
Dalam fikiran saya, “guru seperti inilah yang amalnya berlipat-lipat, negara berutang besar kepadanya”. Sungguh berbeda nasib dengan guru PNS selain dapat TPG, THR, Ke13 dan beberapa rezeki lainnya. Bahkan ada beberapa guru PNS yang malas dan tak pernah berprestasi. Mari sahabat guru PNS untuk meningkatkan tasyakur dan dedikasi.
Terimakasih Guru Honorer yang sudah memberikan “terafi” tasyakur pada kami yang sudah PNS. Anda luar biasa masih bisa mengabdi di tengah kesulitan, keterbatasan ekonomi dan terlihat penuh semangat. Inilah mungkin sosok guru-guru ahli surga dalam cerita Prof. Dr. KH Komarudin Hidayat.
Komarudin Hidayat mengilustrasikan “Suatu saat ketika pintu-pintu surga dibuka tidak ada satupun ahli surga yang berani masuk paling duluan. Padahal saat di dunia biasanya kita saling berebut tak mau ngantri, apalagi pejabat suka diistimewakan. Malaikat heran mengapa tidak ada yang berani masuk surga? Ternyata para ahli surga tidak berani mendahului para guru mereka.
Mengapa tidak berani mendahului para guru? Mereka menjawab! Kami bisa menjadi ustadz, pejabat, pengusaha, politisi soleh, TNI, Polisi dan WNI yang baik karena jasa para guru. Kami tak berani mendahului mereka. Akhirnya sejumlah guru soleh melangkah masuk surga. Namun, tentu saja dimulai dari guru-guru honorer, guru berprestasi, guru pengurus organisasi, guru yang bertugas di daerah terluar terpencil.
Bagi guru honorer setidaknya berakit-rakit kehulu berenang ketepian. Pahit-pahit dahulu surga kemudian. Surga sehat di dunia. Surga nilai ibadah yang berlipat dan surga mulia menjadi guru yang memberikan hidupnya sepenuh hati untuk negara. Apa yang dapat kita berikan untuk negara sudah dilakukan oleh para guru honorer. Kebanyak orang berpikir “Apa yang bisa didapat dari negara dan bila perlu lupakan nasib anak cucu pada masa yang akan datang”.
Para guru honorer yang tetap bertahan dan dedikatif adalah warga negara kehormtan di negeri ini. Ketika Jokowi membungkukan badan dan merasa hadir di tengah-tengah warga negara kehormatan, sesungguhnya itu semua lebih kepada para guru dedikatif. Kepada anda para guru dedikatif, para guru honorer. Tetap semangat sahabat, dunia adalah panggung sandiwara, semuanya akan berakhir dan kelak semuanya akan mendapatkan imbalan dan hisab.