Batam, Suara Guru. Dalam rangkaian Konferensi Kerja Nasional Ke-V PGRI, yang diadakan di Hotel Pacific Palace, Batam, (1-4/02/2018), pada hari pertama diselenggarakan Pertemuan Perempuan PGRI Tingkat Nasional, dalam bentuk seminar dengan narasumber, yaitu: Z Mentemas Yusuf, Ella Yulaelawati, dan Himmatul Hasanah.
Dalam sambutannya, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PGRI, Unifah Rosyidi menyatakan, “Perempuan PGRI selama ini kurang diseriusi. Maka kegiatan ini menjadi penting, Perempuan PGRI tidak sekedar Pokja tetapi Badan Khusus, yang memiliki program kerja peningkatan kapasitas perempuan seperti kepemimpinan perempuan. Diperlukan kaderisasi dan pemberdayaan perempuan PGRI”.
Unifah juga berharap, perempuan harus percaya diri, dan kader PGRI harus masuk dalam semua lini. Solidaritas PGRI adalah modal sosial yang penting. Perempuan PGRI harus bisa selevel Fatayat NU dan Aisiyah Muhammadiyah. Perempuan PGRI harus mendorong PGRI sebagai organisasi profesi. Perempuan PGRI juga melayani masyarakat.
“Pembentukan pengurus Perempuan PGRI mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/ kota, dengan melibatkan ibu gubernur, ibu wali kota, ibu bupati, menjadi sangat penting,” katanya dalam kegiatan yang bertema: “Membangkitkan Kesadaran Kolektif PGRI dalam Meningkatkan Disiplin dan Etos Kerja untuk Pendiidikan Bermutu”.
Urgensitas
Mentemas menjelaskan, jumlah guru perempuan dalam keanggotaan PGRI (56%) dari jumlah anggota PGRI seluruh Indonesia. Adalah wajar apabila mereka diurus oleh pengurus PGRI yang perempuan, juga dalam suatu wadah tersendiri untuk lebih mempersatukan dan membimbing serta mengayomi mereka. Wadah yang paling tepat itulah kelompok kerja (Pokja) Perempuan PGRI sebagai Badan Khusus dalam struktur PGRI.
Menurutnya, organisasi Perempuan PGRI adalah wadah untuk mempersiapkan kader perempuan calon pengurus/ pemimpin PGRI; Kader Perempuan PGRI diharapkan akan jadi calon Pengurus PGRI masa depan sehingga memperpendek rentang waktu tunggu bagi perempuan untuk mencapai kedudukan di jajaran Pengurus Besar PGRI; Perempuan PGRI harus berusaha mandiri tanpa harus terus-menerus dibantu. Harus bertekad kuat karena dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan.
Tantangan
Mentemas yang merupakan pengurus PGRI Gorontalo ini mengakui ada beberapa hambatan, yaitu kemampuan yang terbatas, kurang percaya diri, kurang beroleh kesempatan, terbatasnya kreativitas untuk maju, dan terakhir pengaruh adat-istiadat.
Sedangkan menurut Himmatul, “Kelemahan perempuan adalah emosional: dalam situasi tertentu aspek emosi lebih menguasai dirinya ketimbang kapasitas nalarnya. Kewajiban domestik sedikit terabaikan jika tidak mampu mengatur waktu”.
Oleh karena itu, menurutnya, perempuan PGRI harus memotivasi diri sendiri untuk: mengikuti kegiatan ilmiah, rajin membaca dan mengikuti
kegiatan organisasi,
percaya diri pasti bisa,
timbulkan semangat bersaing pada hal positif, sadarkan diri akan hak yang sama dengan pria, merencanakan program secara bersama, dan berusaha melihat peluang yang ada.
“Langit-langit kaca (the glass ceiling) berlaku untuk wanita sebagai kelompok yang dipelihara untuk maju lebih tinggi karena mereka adalah wanita, tetapi di sisi lain, perempuan dijaga agar tidak naik di atas tingkat tertentu dalam organisasi,” demikian dikatakan Ella Yulaelawati.
Ella menjelaskan, karakter anak perempuan pada buku cerita perempuan selalu rentan terhadap beberapa pesan berikut: jika kamu berharap cukup keras, cita-citamu akan selalu terwujud, jika kamu bekerja keras, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, kecantikan berarti kebahagiaan, dan kebahagiaan berarti menunggu lama seorang pangeran atau pahlawan untuk menyelamatkannya. “Anak perempuan tidak diberdayakan untuk bahagia atau untuk mencapai apa yang mereka inginkan,” katanya.
Tantangan lainnya adalah budaya paternalistik. “Biang dari budaya patriarki adalah politik kekuasaan ambisius yang pelaku umumnya adalah laki-laki. Bahkan, lantaran itu, pandangan-pandangan teologis maskulin tercipta,” tutur Himmatul Hasanah, Staf Ahli Bidang Pendidikan Apkasi.
Himmatul menjelaskan, sekalipun telah masuk ke ranah publik, perempuan masih sub-ordinatif, dan sebagian lagi masih lebih banyak berada pada sektor domestik (reproduksi, ibu rumah tangga). Sebagai bentuk koreksi terhadap bias gender ini, muncullah upaya-upaya perjuangan kesetaraan melalui beberapa pendekatan, seperti gerakan emansipasi.
Di sisi lain, menurut Himmatul, “Perempuan memiliki potensi yang umumnya lebih baik dari kaum pria dalam beberapa hal: kapasitas linguistik, adaptasi sosial, kontrol sosial, karena perempuan cerewet. Leadership perempuan menjadi kepemimpinan alternatif karena selain memang mampu dan patut; juga kaya akan sentuhan kasih sayang (empati)”.
Solusi
Menurut Ella, peran PGRI adalah memastikan: re-branding, keberhasilan sekolah semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan, pengembangan pembelajaran profesional, penelitian tentang guru efektif, perlindungan guru, kemitraan dengan Pemerintah, dan memiliki Bank Pedagogik.
Ella yang juga sebagai Sekretaris Departemen Pemberdayaan Perempuan PB PGRI menjelaskan, “Rebranding PGRI adalah strategi pemasaran dimana organisasi PGRI dapat membuat citraan baru dengan tagar, simbol, dan pembaharuan yang dapat mengubah konsep dalam benak anggota, konsumen, dan pesaing organisasi”.
Ella menyarankan, guru aktif dalan pengembangan profesional guru, seperti: Gugus PAUD/Pusat Kegiatan Gugus (PKG), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan MGMP, membangun Bank pedagogik untuk praktik guru, menyediakan Piagam/Anugerah Profesional untuk guru, membentuk tim dan jejaring profesional Guru.
Ella melanjutkan, guru efektif bisa dilakukan melalui seleksi dan penempatan berdasarkan kualitas, bermitra untuk meningkatkan pengetahuan yang mendalam tentang mata pelajaran, melayani perbedaan individual anak, mempunyai pengetahuan mendalam tentang pedagogi/kemampuan untuk menyesuaikan pedagogi dengan kebutuhan anak, pengertian dan pengetahuan tentang perilaku murid dan pengelolaan kelas yang sesuai untuk mengubah perilaku kearah yang lebih baik, dan bekerja dengan rekan dalam konteks tujuan dan sasaran yang jelas untuk keberhasilan.
Terkait perlindungan guru, Ella menjelaskan, hak pengembangan profesi untuk semua guru, mengidentifikasi dan melindungi anggota terhadap ketidakadilan, membantu guru memperbaiki keadaan dengan prinsip keadilan dengan tetap melindungi harga diri/martabat mereka secara bijaksana, dan memperjuangkan peningkatan penghasilan/kompensasi yang adil dan sesuai kondisi kerja.
Himmatul berpesan agar perempuan menjaga keseimbangan dalam menjalankan peranan di ranah publik dan domestik. “Perempuan itu “hebat”. Perempuan akan menjadi sosok unggul dan cemerlang ketika ia memperoleh (berhasil merebut) kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya,” katanya.
“Sembari merawat orientasi dan dinamika kesetaraan gender yang kian membaik, organisasi pendidikan seharusnya membuka ruang lebar bagi parstipasi dan inisiasi perempuan untuk mengambil peran-peran strategis,” tegasnya. (JEJEN)